Sabtu, 08 Agustus 2015

Bahaya Global Resistensi Antibiotik

Kemajuan dunia kedokteran saat ini dan akan datang terancam oleh potensi terjadinya resistensi antibiotik global, akibat tersebarnya bakteri resisten ke seluruh dunia. Pada saat yang sama, tidak ada penemuan antibiotik baru belakangan ini. Kenyataan ini membawa dampak serius. Bakteri yang resisten akan menurunkan angka kesembuhan akibat penyakit infeksi dan meningkatkan risiko komplikasi dan kematian pada pasien yang mengalami infeksi di darah (sepsis). Pasien yang berisiko tinggi mengalami hal tersebut adalah mereka dengan daya tahan tubuh rendah, seperti pasien kanker, anak gizi buruk, dan pasien HIV positif. Mereka seringkali membutuhkan antibiotik akibat infeksi sekunder yang dialaminya dan harus ditangani hingga tuntas untuk tetap bertahan hidup. Resistensi antibiotik juga mengancam keberhasilan kemajuan medis seperti transplantasi organ, implan protese, dan prosedur-prosedur lain yang memerlukan antibiotik untuk meningkatkan angka keselamatan pasien dan menghindari komplikasi.
Data di dunia mencatat infeksi berperan sebagai penyebab 1/5 angka kematian global; penyebab utamanya adalah infeksi saluran napas yang menyebabkan hampir 4 juta kematian/tahun. Kematian akibat infeksi ini dalam beberapa hal dapat dicegah dengan perbaikan akses dan pelayanan kesehatan. Masalah resistensi antibiotik membuat masalah kematian akibat infeksi makin pelik, terutama di negara-negara dengan ketersediaan antibiotik lini kedua dan ketiga yang terbatas.
Dimensi global
Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang bisa mengisolasi dirinya dari bakteri yang resisten. Resistensi antibiotik adalah masalah internasional yang mengancam generasi sekarang dan masa depan. Resistensi yang terjadi di satu daerah dapat meluas ke seluruh negara. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah globalisasi, yaitu meningkatnya perpindahan penduduk, perdagangan antar-negara, dan perjalanan antar-benua ikut memperluas cakupan penyebaran penyakit infeksi. Strain Streptococcus pneumoniae yang resisten pertama kali ditemukan di Spanyol, namun dengan cepat ditemukan juga di Argentina, Brazil, Cili, Taiwan, Malaysia, Amerika Serikat, Meksiko, Filipina, Korea Selatan, Afrika Selatan, dan Uruguay. Kuman yang resisten ini meluas melampaui batas budaya dan etnis. Resistensi antibiotik memang lebih banyak terdokumentasi di negara maju, namun di negara berkembang, potensi bahaya justru lebih besar.
Sejarah
Pada akhir tahun 1940, kurang dari satu dekade penggunaan penisilin, ditemukan strain Staphylococcus aureus yang kebal (resisten) penisilin di rumah-rumah sakit di Inggris. Bakteri ini kemudian dikenal penyebab utama infeksi yang didapatkan di rumah sakit (hospital-acquired). Manusia pun dikejutkan oleh evolusi biologis ini: alam telah menyeleksi dan ‘menciptakan’ bakteri yang kebal antibiotik, akibat penggunaan antibiotik.
Satu dekade kemudian, resistensi terhadap antibiotik penisilin generasi kedua dilaporkan untuk pertama kalinya. Strain (jenis) Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) ditemukan di RS di Boston. Bakteri MRSA kemudian menjadi simbol bakteri yang resisten antibiotik dan menjadi bakteri yang paling banyak dipelajari. Sejak tahun 1980-an, frekuensi MRSA meningkat. Di Jepang dan Korea Selatan, angkanya berkisar dari mendekati 0 sampai dengan mendekati 70%, di Belgia 30%, di Inggris dan Amerika Serikat 40%.
Mekanisme terbentuknya resistensi ternyata bisa ‘dipelajari’ secara horizontal oleh strain bakteri yang berbeda, juga oleh bakteri yang berbeda. Akibatnya dapat terbentuk klon multiresisten. Masalah serius ini kemudian juga dapat terjadi pada patogen lain. Infeksi yang disebabkan oleh strain bakteri yang multiresisten, seperti Acinetobacter dan Stenotrophomonas, pada beberapa kasus tidak dapat diobati oleh antibiotik modern, dan pengobatan yang tersisa adalah antibiotik ‘kuno’ kolistin, yang sebenarnya sudah dilarang penggunaannya karena efek toksiknya.
Secara global, meningkatnya jumlah Salmonella dan Shigella yang multiresisten dapat menyebabkan infeksi berat yang sulit diatasi, terutama pada anak-anak. Strain Shigella dari Indonesia, Thailand, dan India 80-90%nya resisten terhadap lebih dari 2 antibiotik. Resistensi terhadap golongan fluorokuinolon, satu-satunya golongan antibiotik yang masih efektif untuk mengatasi patogen usus ini, perlahan tapi pasti terus meningkat, sementara belum ditemukan antibiotik baru.
Penyebab resistensi
Resistensi adalah akibat biologis yang alamiah dari penggunaan antibiotik. Semakin sering kita menggunakan antibiotik, semakin cepat terbentuk bakteri yang resisten. Antibiotik banyak digunakan di lingkungan masyarakat (di luar intitusi kesehatan) dan sebagian besarnya digunakan untuk indikasi yang salah, yaitu menggunakannya untuk mengobati infeksi virus.
Mekanisme di balik penyalahgunaan antibiotik sangat beragam dan penuh intrik. Yang dianggap keuntungan jangka pendek penggunaan antibiotik oleh pasien, tenaga kesehatan, dan distributor obat, tampaknya mengalahkan kekhawatiran tentang risiko resistensi di masa depan.
Beberapa faktor yang berperan dalam penggunaan antibiotik adalah: konsep budaya, permintaan pasien, diagnosis yang tidak jelas/tidak pasti, insentif ekonomi, tingkat pelatihan di kalangan tenaga kesehatan dan farmasi, serta promosi untuk penulis resep, konsumen, serta penyedia obat yang disediakan industri farmasi.
Di Eropa, antibiotik 4 kali lebih banyak digunakan di Perancis daripada di Belanda, walaupun ‘beban’ penyakit di kedua negara ini relatif mirip. Penelitian di beberapa negara berkembang menunjukkan beberapa antibiotik biasanya diresepkan pada setiap konsultasi.
Hubungan antara penggunaan antibiotik dan resistensi sangat kompleks. Pada intinya, penggunaan yang tidak tepat mengakibatkan resistensi. Pemberian yang kurang, misalnya akibat sulitnya akses mendapat antibiotik, dosis yang kurang, tidak patuh minum obat, juga sama bahayanya dengan penggunaan antibiotik yang berlebihan. Memberikan antibiotik spektrum luas sebagai pengganti antibiotik spektrum sempit untuk diagnosis yang sudah pasti dengan tujuan meningkatkan kesuksesan terapi juga memicu terbentuknya bakteri resisten.
Kontributor lainnya adalah obat-obatan palsu dan substandar. Obat ini biasanya mengandung antibiotik dengan konsentrasi lebih rendah, sehingga tidak dapat mengontrol populasi bakteri. Akibatnya dapat terjadi resistensi. Diperkirakan, di seluruh dunia, sekitar 50% antibiotik dibeli sendiri oleh konsumen dari apotik atau toko obat tanpa resep dokter. Setengahnya hanya membeli untuk pengobatan 1 hari, atau kurang. Bisa dibayangkan besarnya kemungkinan masalah resistensi yang dapat terjadi.
Begitu strain bakteri resisten terbentuk, penularan akan difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti lingkungan yang padat, higiene yang buruk, serta banyaknya penggunaan antibiotik. Salah satu contoh adalah di tempat penitipan anak. Di tempat ini ditemukan kombinasi: banyak anak-anak kecil yang masih rentan mengalami infeksi berulang, sehingga sering diberikan antibiotik spektrum luas atau multipel. Lingkungan seperti ini menjadi ideal untuk penularan bakteri seperti Streptococcus pneumoniae dan mudah menimbulkan resistensi.
DI lingkungan rumah sakit, beberapa klon bakteri dapat menyebar luas. Contohnya adalah epidemi (wabah) MRSA di Inggris dan Wales. Frekuensi MRSA dalam kultur darah Staphylococcus aureus meningkat dari <5% di tahun 1994, sampai saat ini hanya kurang sedikit di bawah 50%.
Penggunaan antibiotik pada hewan dan tumbuhan
Mengikuti sukses penggunaannya pada manusia, antibiotik kemudian digunakan untuk mengobati dan mencegah penyakit pada hewan, ikan, dan tumbuhan. Selain itu, antibiotik dosis rendah juga menunjukkan efek merangsang pertumbuhan, sehingga selama beberapa dekade digunakan secara luas di industri peternakan.
Di Eropa dan Amerika Utara, 50% dari total konsumsi antibiotik digunakan pada hewan. Pada tahun 1987, lebih dari 90% pemberian antibiotik pada hewan di AS dilakukan tanpa konsultasi dengan dokter hewan.
Antibiotik juga dicampurkan pada makanan hewan. Praktek ini sudah dilarang di Uni Eropa, namun di banyak negara masih dilakukan. Antibiotik dalam dosis rendah dalam makanan ternak diberikan pada sejumlah besar hewan ternak, tanpa memperhatikan status kesehatannya.
Beberapa obat perangsang pertumbuhan hewan ternyata termasuk dalam golongan antibiotik, seperti glikopeptida. Antibiotik golongan ini penting dalam pengobatan manusia untuk mengobati infeksi serius yang dapat menyebabkan kematian.
Bakteri multiresisten dari hewan ternak kemudian menular ke manusia lewat jalur ’rantai makanan’ atau kontak langsung. Strain resisten pada hewan ternak, terutama Salmonella dan Campylobacter terus menerus membentuk klon baru yang menyebabkan infeksi pada manusia.
Tingkat kematian, biaya, dan ekologi
Usaha mengontrol bakteri lewat penggunaan antibiotik justru menciptakan satu ’kolam’ besar penuh gen resisten. Saat ini kita mulai melihat ujung gunung es masalah resistensi. Perlahan, efek besar lainnya akan terkuak.
Kegagalan pengobatan antibiotik lini pertama karena bakteri yang resisten akan meningkatkan komplikasi sekunder dan akibat fatal seperti kematian. Hal ini menjadi dilema klinis untuk memberikan antibiotik empiris (pilihan untuk penyakit-penyakit tertentu) dan masalah terbatasnya alat diagnostik cepat.
Penelitian yang baru-baru ini dilakukan di perawatan intensif (ICU) menunjukkan angka kematian secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang diberikan terapi empiris yang tidak adekuat dibandingkan pasien-pasien yang mendapat terapi adekuat (42 vs 17%). Konsekuensinya, penelitian ini memberikan justifikasi pemberian antibiotik spektrum luas sebagai terapi awal pada kasus infeksi berat. Namun, langkah ini akan membawa kita kembali ke dalam lingkaran setan: angka resistensi yang terus meningkat memaksa klinisi untuk menggunakan antibiotik yang spektrumnya lebih luas dan lebih ’manjur’, sementara penggunaan antibiotik ’cadangan’ ini akan membawa kembali masalah resistensi yang baru, di sisi lain antibiotik yang efektif sudah sangat langka.
Kegagalan sistem
Segera setelah penemuan penisilin, dilakukan inventarisasi yang menyeluruh tentang komponen biologis dan aktivitas antibiotik. Industri farmasi berlomba-lomba menemukan kategori antibiotik baru dengan berbagai substansi dan mekanisme target yang berbeda-beda untuk melawan bakteri. Profesional medis pun bersuka cita menggunakan obat-obatan baru ini dalam praktik mereka. Bertahun-tahun lamanya, kebutuhan medis masyarakat akan obat-obatan antibakteri dapat terpenuhi oleh industri farmasi. Terbentuklah suatu simbiosis antara minat masyarakat dan penemuan oleh industri. Pada tahun 1970-an, penelitian untuk menemukan antibiotik baru perlahan-lahan berkurang. Fokus penelitian berpindah untuk memperbaiki kualitas dan ’memperhalus’ produk yang sudah ada. Saat resistensi antibiotik meningkat cepat, hubungan yang rapuh antara kebutuhan masyarakat dan industri farmasi mulai hancur.
Antibiotik baru akan langsung dihadapkan pada masalah resistensi bakteri tidak lama setelah diluncurkan di pasaran. Kenyataan ini, ditambah pendeknya rentang ’kemampuan bertahan’ antibiotik baru ini membuat perusahaan farmasi kelabakan. Industri farmasi mulai berusaha menyeimbangkan antara keinginan pemegang saham sementara di lain pihak menjaga kepercayaan komunitas. Kesulitan timbul karena keuntungan finansial berbenturan dengan kepentingan masyarakat banyak.
Celah antara sektor publik dan keuntungan perusahaan makin melebar dengan dibuatnya kebijakan nasional dan internasional tentang obat yang menargetkan pada resistensi obat, pembatasan dan penggunaan antibiotik yang rasional. Aturan yang lebih ketat dari pihak yang berwenang membuat biaya penemuan obat baru sangat tinggi, dan prioritas perusahaan untuk memberikan keuntungan yang optimal membuat mereka lebih memilih berkecimpung di area farmasi yang lain yang pasarnya lebih besar dan lebih aman.
Saat ini, modal perusahaan bergeser dari terapi untuk kondisi akut ke pengobatan jangka panjang untuk penyakit-penyakit kronis. Ke depannya, porsi investasi untuk antibiotik akan makin ketat bersaing dengan obat-obatan untuk penyakit muskuloskeletal (otot dan rematik) dan neurologis (saraf) yang net present value-nya 10-15 kali lebih besar. Namun, kebutuhan untuk antibiotik diantisipasi akan terus tinggi. Industri farmasi, dari pandangan sosial, akan diharapkan menyediakan obat yang kualitasnya baik untuk masyarakat dengan harga yang terjangkau, serta tetap memberikan informasi yang terpercaya untuk mereka. Saat ini, sayangnya, bukan begitu kenyataannya.
Saat ini, kita perlu melakukan perubahan yang radikal


Tidak ada komentar:

Posting Komentar