Jumat, 12 September 2014

Apa Itu Hipoksia ?

Mendaki gunung adalah sebuah
kombinasi yang harmonis dan unik
sekaligus menyenangkan antara hal
menyalurkan hobi berpetualang di
alam bebas di satu sisi dengan
olahraga dan olahrohani di sisi yang
lain , walau segala penghalang kerap
menjadi batu sandungan dalam
kegiatan tersebut. Namun yang harus
selalu kita ingat adalah banyak
haling rintang, hambatan, bahaya
dan resiko yang kerap mengancam
keselamatan kondisi jamasni phisik
dan rohani (psikis) kita.seandainya
kita tidak peka, tidak cermat dan
cepat tanggap dalam mengkondisikan
kemampuan dan kesehatan raga dan
faktor ketenangan kejiwaan kita
sendiri. Dari berbagai resiko tersebut
ada satu penyakit yang bisa menimpa
para penggiat alam bebas pendakian
gunung, yakni *HIPOKSIA* , karena
pada hakikatnya Mendaki gunung
tentu akan menempatkan tubuh kita
akan dominan dan sering berada di
atas ketinggian yang ekstrim. Berada
di ketinggian tentu akan mudah
memicu hipoksia karena terbatasnya
oksigen.

Dari beberapa pengamatan dan data-
data evaluasi pada kasus-kasus
kecelakaan di gunung ada dua faktor
yang sering terjadi. Pertama, efek
hipoksia ( kekurangan oksigen ) pada
tubuh. Kedua, efek fisik dari
ketinggian dari permukaan laut,
seperti suhu dan radiasi ultraviolet.
Tapi, hal yang terakhir ini jarang
terjadi pada pendaki gunung. Kecuali
misalnya kekurangan energi ( makan
yang cukup ), kedinginan, kecelakaan
yang mengakibatkan benturan dan
pendarahan yang hebat.

PROSES GEJALA HIPOKSIA :


Proses hipoksia timbul secara
perlahan. Bahkan sering terjadi
seorang pendaki gunung yang terlalu
lama dalam perjalanan pendakian
(ekspedisi pegunungan) ,
sesampainya di rumah ternyata
tubuhnya tidak bisa atau sulit
menerima perubahan suhu (RE-
ADAPTASI) . Hipoksia yang terjadi
berjalan agak lama. Tentu saja hal ini
akan mengganggu proses pernapasan
yang dilakukan paru - paru..

JADI MAKHLUK APAKAH HIPOKSIA
ITU???

Berdasarkan sejumlah literatur
kedokteran, hipoksia adalah kondisi
gejala kekurangan oksigen pada
jaringan tubuh yang terjadi akibat
pengaruh perbedaan ketinggian.
Semakin tinggi suatu tempat dari
permukaan laut, kadar oksigen yang
terkandung di dalam udara semakin
tipis. Kerja organ tubuh terutama
sistem pernafasan yang
membutuhkan pasokan oksigen akan
lebih banyak.
Berdasarkan beberapa penelitian
medis (ilmu kedokteran) dapatlah
dijelaskan bahwa sebenarnya
keseimbangan tubuh manusia selalu
dijaga dan diatur oleh system
kardiovaskuler (system jantung) dan
system pernafasan. Kondisi hipoksia
terjadi jika kita mengalami kerusakan
pada sistem jantung, pembuluh
darah dan sistem pernafasan,
Selain berada di ketinggian, berada
di ruangan tertutup tanpa sirkulasi
udara yang baik, atau di ruangan
yang bersirkulasi udara baik tetapi
dipenuhi asap rokok juga bisa
menyebabkan gangguan hipoksia.

Dalam sebuah Penelitian desertasi
doktor seorang ahli penyakit dalam
membuktikan bahwa kondisi hipoksia
menyebabkan terjadinya luka pada
lambung berupa terjadinya ulkus.
Gangguan yang terjadi pada organ
akibat hipoksia dijelaskan baik secara
kelainan organ melalui pemeriksaan
histopatologi baik secara langsung
maupun pemeriksaan
imunohistokimia.

Untuk itu para pendaki gunung harus
mengenali tanda - tandanya, serta
cara mengatasi jika mengalami
kondisi tersebut. Tanda - tanda
hipoksia atau kekurangan oksigen
antara lain pandangan kabur,
pernapasan makin cepat atau
tersengal -sengal, serta tubuh
menjadi lemas.

Frekuensi pernapasan yang meningkat
terjadi karena tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen. Tidak
hanya memaksa paru - paru bekerja
lebih keras, kondisi ini juga
mempengaruhi jantung yang harus
bekerja keras memompa oksigen
dalam darah yang hanya sedikit itu
untuk didistribusikan ke seluruh
tubuh.

Selain dari gejala fisik, kondisi
Hipoksia juga bisa dikenali dari
perubahan perilaku. Dalam kondisi
hipoksia, otak juga akan kekurangan
oksigen sehingga pola pikir seorang
pendaki berubah menjadi kacau dan
sulit membuat keputusan yang tepat.
Dalam keadaan hipoksia, yang
dominan hanya emosi dan ini sangat
mempengaruhi pengambilan
keputusan. Makanya para pendaki
sering tersesat, salah satunya karena
otak tidak mendapatkan oksigen yang
cukup untuk bisa bekerja dengan
baik.

LEVEL (TINGKAT) KEPARAHAN
HIPOKSIA :

1. HIPOKSIA FULMINAN :
Adalah sebuah kondisi saat dimana
terjadi pernapasan yang sangat
cepat. Paru - paru menghirup udara
tanpa adanya udara bersih
( oksigen ). Sering dalam waktu satu
menit akan jatuh pingsan.

2. HIPOKSIA AKUT :
Terjadi pada udara yang tertutup
akibat keracunan karbon monoksida.
Misalnya, seorang pendaki gunung
tiba - tiba panik takkala udara
belerang datang menyergap. Udara
bersih tergantikan gas racun,
akhirnya paru - paru tak kuasa
menyedot udara bersih. Mendadak ia
pingsan.

HIPOKSIA DAPAT DIHINDARI/DICEGAH
DAN DITOLONG :

Hipoksia sebenarnya dapat dihindari
oleh para pendaki gunung atau
siapapun juga., Para pendaki gunung
yang berpengalaman biasanya telah
melakukan adaptasi dengan
ketinggian. Namun untuk orang yang
memiliki permasalahan pada
pembuluh darahnya baik pada
pembuluh darah otak maupun
pembuluh darah jantung, hipoksia
akan menyebabkan jantung akan
mengalami iskemia (kekurangan
oksigen) bahkan sampai terjadinya
infark (kematian jaringan). Begitu
pula pada orang yang sudah
mempunyai permasalahan pembuluh
darah otak maka kekurangan oksigen
juga akan lebih memperburuk
penurunan oksigen pada otak
sehingga korban menjadi tidak sadar.
Organ-organ lain juga jelas akan
mengalami gangguan jika terjadinya
hipoksia.
Pada orang-orang yang memang

sudah biasa tinggal pada daerah
pada ketinggian atau daerah dengan
kadar oksigen rendah, biasanya tubuh
sudah dapat mentoleransi
(mengadaptasi). Tetapi, adaptasi ini
ada batasnya dan jika kondisi ini
terus terjadi tetap akan
membahayakan jiwa. Salah satu
contoh kasus adalah musibah yang
dialami oleh almarhum WAMEN ESDM
( Prof. Dr Widjajono Partowidagdo).
Beliau tewas saat mendaki Gunung
Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat pada Sabtu (21 April
2012). Penyebab pasti kematian
wamen yang baru bertugas selama
enam bulan itu diduga karena sesak
nafas akibat kekurangan oksigen.
Faktor usia Widjajono (61) juga
berpengaruh kuat. Karena pada
umumnya orang dengan usia lanjut
maka potensi terganggunya saluran di
pembuluh darah sangat tinggi.
Dengan aktivitas berat dengan medan
pendakian yang sering kali ekstrim
saat mendaki gunung ditambah
pasokan oksigen yang tipis, hipoksia
dapat berakibat fatal yakni kematian.
Namun menurut diagnose dr Phaidon
L Toruan, sarjana kedokteran lulusan
Universitas Padjajaran Bandung,
dalam blognya menulis, Widjajono
yang berpengalaman mendaki gunung
Fuji, Himalaya, Kilimanjaro, tentu
sudah mengukur dirinya saat
sebelum pendakian ke Gunung
Tambora di Kabupaten Dompu Bima
engan ketinggian 2.850 mdpl.
Menurut Phaidon, sesak nafas yang
dialami Wamen Widjajono bisa
disebabkan oleh kurangnya oksigen
dan bisa juga merupakan salah satu
tanda serangan jantung. Dua gejala
terkait gejala serangan jantung
adalah Angina (rasa nyeri seperti
ditekan di bagian dada), dan Aritmia
(gangguan irama jantung yang dapat
menyebabkan palpitasi ataudenyut
jantung yang abnormal).
Kedua kondisi ini, Angina dan aritmia
terjadi karena kurangnya pasokan
darah yang membawa oksigen ke otot
jantung. Biasanya diikuti oleh gejala
lain seperti pusing, letih yang
berkepanjangan, mual, berkeringat
dingin, dan sesak nafas. Gejala
tersebut merupakan pertanda awal
serangan jantung. Hanya saja gejala
tersebut dianggap sebagai masuk
angin. Terlebih, kalau ada proses
pendakian di gunung yang memang
cuacanya dingin. Akibatnya
pertolongan pertama seringkali
terlambat diberikan.
Serangan jantung menghentikan
suplai oksigen ke otot jantung
menyebabkan otot-otot jantung akan
mati sewaktu tidak mendapatkan
darah. otot jantung beda dengan otot
lain yang tidak dapat mengalami
regenerasi. Kalau semakin lama gejala
yang menunjukkan serangan ini tidak
diatasi, akan semakin banyak
kerusakan permanen pada otot-otot
jantung dan bahkan jika terus
dibiarkan dapat mengalami kematian.
Dalam konteks kejadian yang dialami
Wamen ESDM, Phaidon menyebutkan
dengan usia yang mencapai 61 tahun
kapasitas fisik, termasuk fungsi
jantung dan paru menurun. Apalagi
jika tidak diimbangi dengan gaya
hidup sehat.

Pertolongan pertama ketika
menghadapi kondisi ini tentu saja
dengan memberikan oksigen. Tabung
oksigen berukuran kecil yang bisa
dibawa ke mana - mana sangat
mudah diperoleh di apotek dengan
harga terjangkau, sehingga tidak ada
salahnya para pendaki melengkapi
diri dengan alat ini.
Jika tabung oksigen belum cukup
menolong, maka semua pakaian harus
dilonggarkan agar pernapasan
menjadi lebih lancar. Kerah baju
harus dibuka, ikat pinggang dilepas
dan juga bra pada perempuan mau
tidak mau harus dilepas supaya
saluran napasnya tidak sesak.
Namun yang terpenting dari semua
itu adalah, sesegera mungkin pendaki
yang mengalami hipoksia harus
dibawa ke lokasi yang lebih rendah
supaya mendapat oksigen lebih
banyak dari udara pernapasan. Makin
lama berada dalam kondisi hipoksia,
makin besar resiko kerusakan organ
karena tidak mendapat suplai
oksigen.
Daya tahan seseorang saat berada
dalam kondisi hipoksia sangat
beragam, salah satunya dipengaruhi
oleh kadar sel darah merah serta
hemoglobin. Orang - orang yang
sehari - hari tinggal di gunung secara
alamiah lebih tahan terhadap
hipoksia karena sel darah merahnya
lebih banyak. Untuk mencegah
dampak buruk dari hipoksia, para
pendaki gunung yang sebelumnya
mengidap penyakit jantung,
pernapasan clan sirkulasi darah
dianjurkan untuk tidak mencapai
ketinggian yang melebihi daya tahan
tubuh,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar