Sore itu, suasa sebuah perkampungan kecil yang tak jauh dari hiruk pikuk sebuah kota di jawa tengah begitu lengang, tenang dan damai. Sinar sang mentari yang telah berada diufuk barat memberikan warna jingga yang begitu indah. Aku dan anak istriku sedang menikmati sore sembrani jalan-jalan tuk melepas penat.
" Kacang, kacang ", terdengar suara pelan dari seorang ibu renta yang menawarkan dagangannya semberani menggendong anak kecil sekitar usia 4 tahunan.
" Bu, beli sepuluh ribu ", ucapku kepada ibu penjual itu. Ibu itu hanya sedikit senyumdan membungkuskan pesanku, namun raut mukanya berubah seketika. Bola matanya terlihat berkaca-kaca semberani mengucapkan syukur kepada Tuhan secara perlahan.
Setelah itu ia pun berlalu dan berjalan menuju warung makan yang ada didekat sini. Rasa penasaranku datang, ku ajak anak dan istriku kewarng itu dengan tujuan hanya ingin bercakap sedikit dengan ibu tua penjual kacang tersebut.
Dengan uang hasil penjualan kacang ia membeli satu bungkus nasi dan satu gelas teh hangat, kemudia ia menyuapin anak ia yang gedong dari tadi. Dan si anak makan dengan lahapnya hingga nasi yang dibeli oleh si ibu itu habis tak tersisa sama sekali.
Akupun memberanikan diri untuk mendekat dan memuali percakapan.
" Kenapa ibu tidak makan ?", tanyaku
" Nanti dirumah mas, Saleh anak saya dan bapaknya belum makan. Biar nanti sekalian makan bareng dengan saya ", jawab ibu itu lirih
" Lho kenapa bukan Bapak dan si Saleh yeng berkerja bu ? ", lanjutku.
" Bapak sedang sakit mas, sudah hampir lima tahun bapak lumpuh. Ketika bapak kerja menyapu jalan ia diserempet mobil dan si pengendara mobil itu tidak bertanggung jawab. Jadi si Saleh ngurus bapaknya dirumah, mas ", jawbanya lagi dengan nada datar dan semakin terlihat kedua bola mulai berkaca-kaca.
" Kalau boleh tau, Saleh umur berapa bu? ", tanyaku kepada ibu itu.
" Baru kelas 4 sekolah dasar mas, anak saya yang pertama telah meninggal . . . ", jawab ibu itu datar dan kemudian menghela napas.
" Maaf bu, kalau ibu jualan kacang sehari bisa dapat berapa ribu ?", tanyaku penuh dengan kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaannya.
" Lima belas ribu, kalau kacangnya habis semua . . . ", jawab ibu itu dengan lirih.
Jeder !!! Astarfilullah, aku tak berani melanjutkan pertanyaanku. Jawaban ibu itu membuat hatiku tersentuh dan sedikit termenung jika ibu penjual kacang itu adalah ibuku.
Apakah kalian pernah berpikir jika ibu itu adalah ibu kalian ?
Apakah kalian masih bisa menghamburkan uang yang kalian dapat ?
Pernahkah kalian menyiisihkan sebagian pendapatan kalian untuk ibu ?
Ingat kawan, uang dan kekayaan bukanlah barang abadi dan jaminan untuk segalanya. Namun kasih sayang yang tulus ikhlaslah yang dapat menjadikan diri kita sebagai orang yang patut dicontoh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar